Thursday, March 15, 2007

thank's boy.....

Tadi malam, seperti biasa aku pulang dari kantor naik kereta (sekarang sudah nggak phobia naik ekonomi he he). Di dalam kereta, lamunanku satu, biasanya kalau sudah tanggal segini memang hanya melamunkan kantong yang sudah mulai menipis. Huh, segera aku menarik napas, rekening listrik belum dibayar, pembantu juga, HP pulsa juga mulai menipis, huh pusing jadinya. Setelah sampai stasiun Bekasi, perjalanan harus dilanjutkan dengan angkot. perjalanan biasa saja, tidak ada yang istimewa. Semua orang yang ada di dalam angkot sibuk dengan lamunannya sendiri. Mungkin ada diantara mereka yang di kantor mengerjakan tugas dengan baik, ada juga yang habis dimarahi bos (kulihat wajahnya cemberut), atau ada juga yang sedang berbunga-bunga (kulihat selalu tersenyum dan ceria). Di tengah keasyikan menikmati perjalanan di angkot, tiba-tiba seisi angkot dikejutkan oleh guncangan keras karena sopir mengerem mendadak. Si sopir pun meledak marah dalam bahasa yang tak kuk kenal. kalau didengar sepintas sih logatnya Batak. Ternyata sopir tersebut memarahi seorang anak, yang penampilannya dekil, kumal, kotor dan tidak terawat. Dia seorang pengamen dan nyaris tertabrak angkot yang ku tumpangi. Ya ampun kasihan banget anak itu, sudah tidak diperbolehkan ngamen sama sopir, hampir tertabrak pula. masih diomeli lagi. aduuh kasihan banget. Angkot pun kembali melaju melanjutkan sisa perjalanan. Sampai di lampu merah samping Mall Metropolitan kembali seorang anak berusaha mengamen di angkot yang aku tumpangi. Suaranya jauh dari merdu. Seadanya dan Sekenanya mungkin kata yang tepat. Tiba-tiba aku tersadar betapa kasihannya anak-anak ini. Mereka harus mencari uang untuk sekedar membeli makanan atau menyambung hidup. Mereka harus berjuang dengan keras dan harus menanggung resiko tertabrak mobil atau motor atau jatuh dari angkot tempat mereka mengamen dan bisa terluka. Bukan hanya terluka, tetapi mereka bisa mati. Kasihan, hanya satu kata itu yang ada di hatiku. Tiba-tiba pengamen kecil ini tersenyum padaku yang melihatnya tanpa berkedip. Rasa malu pun mulai menjalari hati. Bagaimana tidak malu, mereka yang menanggung beban sedemikian hebat masih bisa tersenyum. Sedangkan aku yang keadaannya jauh lebih baik masih juga mengeluh. Rasanya menjadi sangat malu. Perlahan kurogoh kantong celana dan menemukan beberapa recehan di dalamnya. kuserahkan koin-koin itu pada pengamen cilik itu. Dia pun tersenyum kembali, begitu berterima kasih. Seharusnya aku lah yang berterima kasih padanya karena telah memberikan pemahaman baru untuk selalu bersyukur atas apa yang kita punya, apapun itu. Thank's boy, you are fabulous.

15 Maret 2007
Nyantai, tinggal nunggu persetujuan dari pusat

1 comment:

Ahmad Faisol said...

Kisah yang sangat menarik. Mata kita memang terkadang tidak pernah jeli dalam membaca apa yang ada di dekat kita. Akibatnya terkadang kita harus terkaget-kaget karenanya. Bukankah anak jalanan itu, pengamen salah satunya selalu riang bermain-main. Mubuh lek ibu-nya. Kalo ibu-ibu di jalanan biasanya cemberut.